Toocool's Search Engine

28 September 2009

Refleksi Koneksi Internet end user di Indonesia

Indonesia adalah negara yang besar. ± 220 juta penduduknya.

Sayangnya setelah 64 tahun merdeka, sebagian besar Bangsa Indonesia masih belum sejahtera.
Karena belum sejahtera, maka berakibat pada tingkat pendidikan, pola pikir dan pola hidup bangsa ini yang tidak sistematis.

Ada seorang kawan mengatakan, "Bangsa Indonesia karena sudah diberi oleh Tuhan Kekayaan alam yang melimpah, menjadikan manusia - manusia Indonesia kurang berusaha dan kurang menghargai..."
'Mental Tempe' Kalo kata Pak Karno, Sang Proklamator kita...

Hal ini menjadi semakin parah karena orang-orang yang duduk di pemerintahan juga ber'Mental Tempe'.
Mereka lebih mementingkan bagaimana caranya 'balik modal' daripada memikirkan nasib rakyatnya.
Memang tidak semua orang-orang yang di pemerintahan seperti itu, tapi 'karena nila setitik, Rusak susu sebelanga'.

Keadaan ini dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku bisnis dari luar, maupun pelaku bisnis yang ingin mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari Bumi Indonesia ini.
Jumlah penduduk Indonesia yang besar, kekayaan alam yang berlimpah, peraturan yang bisa 'diakali', dan 'mental tempe' para pelaku pemerintahan merupakan pasar yang sangat potensial untuk ladang bisnis.
Peluang ini dilihat dengan jeli oleh pelaku-pelaku bisnis dari luar yang mempunyai modal besar dan bisa 'bekerjasama' dengan pemerintah.
Sedangkan pelaku-pelaku bisnis lokal yang menyadari keadaan dan peluang ini, terbentur oleh dana dan birokrasi dari Sistem Pemerintahan yang kurang peduli kepada rakyatnya.
'Maju Tak Gentar Membela yang Bayar', kata seorang teman.

Dalam lingkup kecil, koneksi internet, contohnya.
Bangsa ini dibuat tergiur oleh paket2 murah para penyedia jasa telekomunikasi.
Memang, 'kue' pasar harus dibagi rata, namun bukan berarti menjadi persaingan yang tidak sehat antar operator.

Awalnya murah dan stabil, namun setelah dirasa mampu menjaring banyak konsumen, koneksi dipermainkan.
Ada pula yang seenaknya menurunkan limit pemakaian dan settingan tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Setelah ada komplain, baru diberitahu bahwa settingan berubah, bahwa limit diturunkan.
Malah sering terjadi komplain tidak digubris sama sekali.
Come On Man... Jadilah ProAktif... Jangan menjadi ReAktif...

Konsumen internet sekarang ini bisa dibilang sebagai konsumen musiman, konsumen kuantitatif.
6 (enam) bulan memakai operator A, 3 (tiga) bulan kemudian menggunakan operator B, dsb.
1 (satu) Tahun bisa gonta-ganti operator berkali-kali.

Yang menjadi korban adalah konsumen yang kualitatif.
Konsumen kualitatif sangat-sangat direpotkan jika harus bergonta-ganti operator.
Mengisi data-data, membeli alat baru, dan tentunya mengeluarkan biaya dan membuang waktu yang tidak sedikit.
Dan resikonya, data-data pribadi menjadi tersebar kemana-mana.
Semakin banyak orang yang tiba-tiba menelepon menawarkan barang, jasa, asuransi, bisnis, dll.

Kalau keadaan seperti ini terus menerus, bagaimana koneksi internet di Indonesia bisa maju?
Insfrastrukturnya belum memadai, sudah berlomba-lomba menawarkan sesuatu yang 'wah'.

Sedikit saran dari penulis,
Siapkanlah dahulu insfrastruktur yang memadai, baru membuka penawaran kepada konsumen.
Silahkan berbagi potongan-potongan 'kue pasar', namun bersainglah dengan tujuan memajukan koneksi internet di Indonesia.
Agar tidak ketinggalan dengan Singapore yang hanya sebesar kota Jakarta, namun koneksinya sangat mumpuni untuk skala masyarakat disana.

Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang Toleran, Tenggang Rasa, dan Bermusyawarah untuk Mufakat.
Mari kita buktikan bahwa Indonesia Bisa...!

Quo Vadis Internet Indonesia...?